Sunday, February 23, 2014

Siapkah Ujungjaya Memasuki Pasar Bebas Asean ?


MULAI   1 Januari 2015,  pasar bebas ASEAN  (The Association of Southeast Asian Nations)  atau ASEAN  Economic  Community (AEC), diberlakukan. 

Tujuan dari AEC ini adalah untuk menjaga stabilitas politik dan keamanan regional ASEAN, meningkatkan daya saing kawasan secara keseluruhan di pasar dunia.  Selain itu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan dan meningkatkan standar hidup penduduk negara anggota ASEAN. 

Ketika AEC berlaku, pabrik dibangun dan hasil produksinya bisa dijual dimana saja selama dalam lingkungan ASEAN.  ASEAN akan menjadi pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal dimana terjadi arus barang, jasa, investasi, dan tenaga terampil yang bebas, serta arus modal yang lebih bebas diantara negara ASEAN.

Lalu, bisa kah Indonesia menghadapi Pasar Bebas ASEAN ? Kalau bisa, bagaimana strategi Indonesia dalam menghadapinya ?  Yang menjadi permasalahan Indonesia saat ini dan mungkin sampai mulai berlakunya AEC adalah kualitas tenaga kerja Indonesia yang rendah, serta jumlah penganggur Indonesia selalu tinggi.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, per Agustus 2013 sebanyak 47,9 persen tenaga kerja Indonesia maksimal berpendikan Sekolah Dasar (SD). Kemudian berpendikan SMP 17,8 persen, SMA 24,52 persen dan perguruan tinggi cuma 9,78 persen.

Kualitas SDM yang  masih rendah tentu berdampak pada  tingkat produktivitas dunia usaha nasional dan rendahnya tenaga kerja yang terserap oleh industri.  Sebagaimana diakui Kualitas tenaga kerja Indonesia yang rendah berdampak pada tingkat produktivitas dunia usaha nasional dan rendahnya tenaga kerja yang terserap oleh industri. 

Catatan Kadin Indonesia, menyatakan, tingkat produktivitas dunia usaha Indonesia berada di peringkat ke-59 dibandingkan Thailand di peringkat ke-27 dan Malaysia di peringkat ke-18.  

Masih menurut data BPS, angka pengangguran di Indonesia per Agustus 2013 melonjak 7,39 juta jiwa dari Agustus 2012 sebanyak 7,24 juta jiwa. Bertambahnya pengangguran ini disebabkan berbagai faktor. Menko Perekonomian, Hatta Rajasa menduga karena PHK yang dipicu oleh pemogokan, sweeping dan relokasi usaha.   Penganggur sebagai Sebagai Aset         
Menurut Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans), Reyna Usman, Indonesia tak perlu khawatir atau takut dalam menghadapi AEC. Salah satu kekuatan Indonesia, kata dia, adalah jumlah angkatan kerja Indonesia yang mencapai 118, 2 juta per Agustus 2013 (BPS).      

Ada pun penganggur Indonesia yang tinggi dan pendidikan tenaga kerja Indonesia yang renah, menurut Reyna, jangan dilihat sebagai beban, tetapi dilihat sebagai aset bangsa.

“Jangan melihat penganggur dan kualitas tenaga kerja sebagai beban, tetapi sebagai aset. Sebagai aset berarti kita mengambil jalan keluarnya agar menjadi aset,” kata Reyna, dalam ombrolan santai dengan SP di Jakarta, Kamis pekan lalu.

Memang harus diakui, sebagian orang bahkan pemerintah di banyak negara menganggap penganggur sebagai beban negara dan masyarakat.  

Reyna mengatakan, untuk mengurangi pengganggur di Indonesia, Kemnakertrans melakukan terobosan yakni melakukan pelatihan dan pendidikan melalui sejumlah Balai Latihan Kerja (BLK).

Selain itu, kata Reyna, melalui Job Fair (bursa kerja). Reyna optimistis dapat menurukan angka pengangguran di Indonesia hingga mencapai kisaran 5,5-5,8 persen pada akhir 2013. Bagi perusahaan Job Fair sangat membantu mendapatkan tenaga kerja yang sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan perusahaan.

Perusahaan juga dapat melakukan rekrutmen tenaga kerja yang berkualitas secara langsung. Perekutan melalui Jab Fair biaya lebih murah dibanding dengan biaya pemasangan iklan di media cetak. Sedangkan bagi pencari kerja Job Fair dapat memperoleh informasi lowongan kerja. Efisien dan efektif dari segi biaya dan waktu pencarian lowongan pekerjaan lowongan.

 Selain itu, banyak pilihan dalam mengisi kesempatan kerja yang ditawarkan. Menurut Muhaimin, Job fair terbukti efektif sebagai solusi dalam menurunkan pengangguran di Indonesia.  Hingga Februari 2013 jumlah pengangguran di Indonesia turun 70.000 orang atau menjadi sekitar 7,17 juta penganggur.

"Jumlah pengangguran telah turun sebanyak 70.000 orang menjadi 7,17 juta orang jika dibandingkan pada Agustus 2012 yang jumlahnya 7,24 juta orang," kata Reyna.  

Reyna mengatakan, pemerintah berusaha mengurangi jumlah pengangguran lulusan universitas. Pemerintah, kata dia,   terus berupaya untuk membuka lapangan pekerjaan baru baik di bidang formal maupun informal. Salah satu solusinya dengan menggelar Gerakan Penanggulangan Penangguran (GPP) di seluruh Indonesia. Ia  mengatakan, pemerintah memprioritaskan penciptaan lapangan pekerjaan baik formal maupun informal serta upaya penciptaan lapangan kerja (job creation) yang dipadukan dengan program aksi pemberdayaan masyarakat untuk menciptakan kesempatan kerja yang lebih luas.

Kesempatan kerja di Indonesia masih terbuka namun sangat kompetitif. Oleh karena itu pencari kerja dan pengangguran harus melengkapi kemampuannya dengan kompetensi kerja sehingga bisa dengan mudah menentukan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan bakat, minat dan keinginannya.

Reyna  mengatakan meskipun kondisi ketenagakerjaan di Indonesia semakin membaik dari tahun ke tahun, namun upaya untuk membuka lapangan kerja baru dan mengurangi angka penganguran terus dilakukan secara intensif. "Salah satunya adalah dengan meningkatkan SDM dengan membangun kompetensi tenaga kerja yang memiliki daya saing guna perluasan kesempatan kerja. Yang lebih utama lagi bagimana kita dapat mengembangkan jiwa kewirausahaan pada pencari kerja tendidik," katanya.

Menurut Reyna, terbatasnya kesempatan kerja baru serta tidak adanya link and match antara kompetensi yang dimiliki tenaga kerja dengan pasar kerja menjadi salah satu penyebab masalah tingginya tingkat pengangguran di negeri ini. Upaya lainnya yang dilakukan adalah melaksanakan program padat karya, pengembangan wirausaha produktif dan memperbanyak pelaksanaan bursa kerja (job fair)oleh pemerintah dan swasta.

Pemerintah pun menyediakan fasilitas dan program-program pelatihan kerja yang tersedia di Balai-balai Latihan Kerja (BLK) di seluruh Indonesia untuk mempercepat penyerapan tenaga kerja dan mengurangi angka pengangguran di daerah-daerah. Berdasarkan data Kemnakertrans saat ini terdapat 13 BLK UPTP milik Kemnakertrans dan 252 BLK UPTD milik pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia dengan jumlah instruktur yang mencapai 3.132 orang.

Monday, February 17, 2014

Musrenbang Kecamatan Ujungjaya 2014

Senin 17 Pebruari 2014 telah dilaksanakan musrenbang tingkat kecamatan Ujungjaya tahun 2014. Acara yang dihadiri oleh 6 orang delegasi tiap desa dari 9 desa sekecamatan ujungjaya itu membahas prioritas usulan kegiatan yang akan dilaksanakan pada tahun 2015. Musren juga memilih dan memilah kegiatan yang akan diajukan ke APBD Kabupaten melalui (PIK dan PI SKPD), Yang diajukan Ke APBD 1 (Provinsi), APBN dan Usulan yang dibiayai oleh PNPM-MP dan Integrasi.
Hadir juga dalam Musren tersebut unsur Dinas terkait dari UPTD/UPTB sekecamatan Ujungjaya, Tim Musren Kecamatan dan Kabupaten (Bappeda dan FDM), Juga dari DPRD Sumedang yang hanya diwakili satu orang Dewan dari davil IV (Ujungjaya, Conggeang, Tomo, Paseh dan Jatigede).
Diantara usulan kegiatan yang akan di biaya oleh PIK (Pagu Indikatif Kewilayahan) adalah sebagai berikut :
  1. Peningkatan Jalan Kudangwangi-Keboncau 
  2. Pengaspalan Jalan PU Sanyere-Sahbandar
  3. Perbaikan irigasi Palasari-Sukamulya
  4. TPT Jalan Suradipa
  5. Pembangunan Poskesdes Keboncau
  6. Listrik Keluarga Miskin desa Palabuan
  7. Listrik Keluarga Miskin desa Sukamulya
  8. Program Pembinaan Peran serta masyarakat dlm pelayanan KB-KR yang Mandiri
  9. Pelatihan Kader Jumantik dan Pengadaan Alat Fogging
  10. Pelatihan Agrobisnis Petani Mangga Gedong Gincu
  11. Pengadaan Racun Hama
  12. Program Paket C/ Setara SLTA

Tuesday, February 11, 2014

Visi Kecamatan Ujungjaya 2014-2018 "MAPAG"

Visi Ujungjaya "MAPAG" maksudnya "Ujungjaya Maju, Panceg, Guyub".  Hal ini disampaikan sekretaris kecamatan (Sekcam) Ujungjaya Drs Lili Rahli dalam setiap acara musrenbang desa tahun 2014. Beliau juga menjelaskan bahwa "Mapag" berarti menjemput yang sudah dekat. 
Bukan rahasia lagi kalau kecamatan Ujungjaya dalam waktu dekat ini akan berubah menjadi kawasan industri. Maka warga ujungjaya harus siap MAPAG perubahan tersebut.
Adapun Penjelasan MAPAG (Maju, Panceg, Guyub) sebagai berikut :
  • Maju,  adalah kondisi terwujudnya percepatan perbangunan ke arah yang lebih baik dengan semakin meningkatnya kualitas sumber daya manusia dan hasil-hasil pembangunan, ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi sehingga tercapainya kesejahteraan
  • Panceg, adalah kokoh dan istiqomah dalam menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai luhur budaya, dan nilai-nilai kebangsaan, dan hukum dalam perilaku hidup bermasyarakat dan bernegara.
  • Guyub, adalah sikap memegang teguh komitmen, suka bekerja sama dan bergotong royong dalam membangun sinergitas antara masyarakat, aparatur pemerintahan, dan stakeholder yang ada.
 Tujuan :
Mewujudkan Kecamatan Ujungjaya yang Maju, Kokoh, dan Solid dalam menghadapi tantangan di masa depan
 

Saturday, February 8, 2014

Undang-undang Desa 1 M per Tahun: Manfaat atau Mudarat?

  OPINI :

Akhir tahun 2013 ditandai dengan berbagai kejadian yang mengesankan. Tak terkecuali di gedung DPR (baca : Senayan). Bisa jadi, ini adalah hari termanis bagi proses pembangunan Indonesia. RUU Desa yang selama beberapa tahun mangkrak pembahasannya, akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang. Ini merupakan tonggak baru bagi sebuah negara dengan sistem pembangunan bottom-up, yang sebelumnya pembangunan menganut sistem up-bottom.
Di zaman orde baru, sistem pembangunan sangat tersentralisasi, dimana daerah hanya bisa menerima apa yang pusat putuskan. Namun, pasca reformasi, paradigma ini nampaknya mulai dirubah. Pemerintah sadar bahwa sentralisasi hanya menciptakan pembangunan semu semata, tidak menyentuh pada akar permasalahan. Desentralisasi menjadi sebuah paradigma baru dalam pembangunan Indonesia saat ini. Untuk mengefektifkan sistem pembangunan ini, senayan meloloskan UU Desa sebagai payung hukum membangun Indonesia dari bawah.
Ada beberapa hal yang menarik tentang UU Desa ini, dilihat dari isi, prosesnya, serta efek sosial politiknya kedepan. Saya tidak akan membahas secara mendalam mengenai isi perpasal dari Undang-Undang ini. Tulisan ini coba berbicara dari sudut pandang dampak sosial yang mungkin terjadi. Saya bukanlah ahli sarjana pemerintahan atau tata negara, pun saya juga bukan seorang ahli hukum. Kaitannya dengan UU Desa, saya berusaha menempatkan diri sebagai masyarakat yang tinggal di pelosok pedesaan yang dalam UU ini dijadikan sebagai objek utamanya. Saya akan coba memaparkan masalah-masalahnya terlebih dahulu sebelum kemudian mencoba menawarkan apa yang sekiranya bisa dijadikan solusi akan permasalahan yang ada.
Salah satu klausul yang ada di UU Desa adalah tentang adanya dana 10 % dari APBN dan APBD bagi setiap desa. Ini menjadi menarik karena jika ditotal maka setiap desa akan memperoleh dana sekitar 1 milyar rupiah. Angka yang cukup besar, dilihat dari anggaran yang selama ini dikucurkan untuk setiap desa dari pemerintah. Perlu diingat bahwa jumlah desa yang ada di Indonesia adalah 81.253 desa / kelurahan (data terbaru dari Kemendagri). Persoalannya bukan pada jumlah desanya, namun lebih pada bagaimana pengelolaan anggaran tersebut. Selama ini di desa-desa, pengelolaan anggaran selalu diserahkan kepada Kepala Kampung atau Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kampung (LPMK). Anggaran ini rawan untuk kemudian diselewengkan, mengingat besarnya anggaran yang diberikan. Fenomena yang terjadi di tingkat bawah adalah kebiasaan bagi-bagi jatah. Salah satu penyebab mengapa adanya bagi-bagi jatah ini adalah karena kecilnya gaji yang diterima oleh perangkat desa. Sehingga dengan adanya anggaran ini, maka boleh jadi ini adalah aji mumpung bagi perangkat-perangkat desa. Namun itu bisa kemudian kita siasati dengan pengawasan.
Pengawasan di tingkat desa dilakukan oleh Badan Permusyawaran Desa (BPD). Lembaga ini merupakan perwujudan perwakilan dari masyarakat di tingkat desa. Namun lagi-lagi BPD di berbagai daerah mengalami stagnanisasi lembaga. BPD hanya menjadi lembaga formalitas tanpa memiliki progress yang menggembirakan. Alasan klasik yang selalu muncul ketika ditanyakan mengapa BPD tidak bergerak adalah ketidaktahuan anggota mengenai mekanisme kerja serta pembagian kerja di BPD itu sendiri. Apabila kemudian BPD tidak dicarikan solusinya, maka proses pengawasan akan mati serta potensi terjadinya penyelewengan anggaran pembangunan yang diamanatkan oleh UU Desa akan semakin besar. Itu adalah masalah yang pertama.
Permasalahan yang sekiranya berpotensi terjadi di lapangan berikutnya adalah mengenai mekanisme penganggaran. Di penjelasan UU Desa tertera bahwa mekanisme penganggaran akan melalui daerah. Titik rawannya sendiri berada pada penyalurnya. Melihat dari kejadian-kejadian yang hampir serupa, contohnya ketika penganggaran sertifikasi guru, dana yang turun dari pusat diendapkan dulu di rekening daerah sampai beberapa bulan. Endapan ini bukan untuk kemudian dikorupsi, melainkan mencari bunga dari endapan dana di bank. Coba saja dihitung, jika satu kabupaten terdapat 450 desa, artinya adalah dalam satu tahun akan ada dana segar sekitar 450 miliyar rupiah. Kalau bunga bank tiap bulannya mencapai 2 persen, sudah berapa dana yang bisa diperoleh dari endapan ini.
Dalam hal realisasi di lapangan, UU Desa juga mengamanatkan harus dilakukan melalui Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrembang Desa). Masalahnya kemudian, apakah musrembang ini cukup efektif untuk membuat rencana kerja selama setahun mengingat SDM berkualitas yang sangat terbatas di pedesaan. Pengalaman selama ini, Musrembang hanya menjadi sebuah forum formal untuk pengesahan saja. Rencana-rencana yang diajukan semuanya dibuat oleh beberapa orang saja, itupun ketika ditawarkan di forum, masyarakat maupun perwakilan yang hadir, hanya memberi label persetujuan saja tanpa urun rembug maupun mengkritisinya. Tentunya ini menjadi preseden yang kurang baik dalam proses pembangunan. Keikutsertaan masyarakat dalam menggali rencana pembangunan mutlak dibutuhkan agar pembangunan bisa selaras dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Kemudian, masalah yang berpotensi muncul adalah tingginya politik uang dalam pemilihan kepala desa. Hingga saat ini, tidak ada payung hukum yang melegalisasi adanya pemberian biaya pemilihan kepala desa dari pemerintah. Selama ini, biaya pemilihan kepala desa selalu dibayarkan dengan cara patungan antar calon. Tak heran kemudian, satu calon kepala desa bisa menghabiskan dana puluhan juta rupiah. Dana tersebut diperuntukkan bagi biaya penyelenggaraan, pesta, sosialisasi, serta hal-hal lain yang terkait dengan pemilihan maupun konstituen. Ini menjadi sandungan tersendiri bagi penerapan UU Desa, karena dalam UU Desa tercantum bahwa periodisasi jabatan kepala desa adalah selama 2 periode dengan masing-masing periode selama 6 tahun. Fatalnya adalah dalam UU Desa ini tidak termaktub adanya dana dari pemerintah untuk proses pemilihan kepala desa. Apabila ini tidak segera dicarikan solusinya, maka dana perimbangan yang jumlahnya fantastis itu bisa menjadi bancakan untuk mengembalikan modal yang sudah dihabiskan oleh kepala desa dalam pemilihan.
Dari beberapa masalah yang potensial tersebut, saya mencoba menarik sebuah benang merah antara fakta di lapangan dengan opsi yang ada di UU Desa. Pertama, tentang mekanisme pengawasan serta penganggaran program, BPD harus menjadi watchdog yang bertaring. Satu hal yang harus dilakukan sebelum pelaksanaan UU Desa ini diterapkan sepenuhnya adalah adanya maintenance SDM di BPD itu sendiri. Untuk informasi, UU Desa akan resmi diberlakukan mulai awal tahun 2015, sekaligus menunggu Peraturan Pemerintah untuk teknis pelaksanaannya. Guna mengefektifkan aktor-aktor yang ada, maka pemerintah harus meningkatkan SDM di dalam BPD. Ini bisa dilakukan dengan membuat semacam pelatihan maupun workshop secara bertahap. Legislator-lagislator desa ini harapannya mampu mengimbangi power yang dimiliki oleh kepala desa sebagai decision maker. Selain itu, adanya korespondensi antara BPD dengan DPRD juga bisa menjadi solusi meningkatkan efektifitas kerja BPD. Setidaknya ini mampu menjadi akselarator proses check and balance di tingkat desa.
Kemudian dalam kaitannya dengan hambatan distribusi dana perimbangan di tingkat daerah, peran serta lembaga-lembaga dari pusat penting untuk dihadirkan. Sistem otonomi daerah tidak membatasi adanya campur tangan dari pusat, sehingga proses distribusi ini harus mendapatkan pengawasan ketat dari pusat. Pengalaman di dana sertifikasi guru, ketiadaan pengawasan dari pusat menjadi lubang mengapa dana tersebut bisa ditahan di daerah. Apabila dana perimbangan pembangunan desa ini tertahan, pastinya pembangunan akan terganggu, padahal semangat yang ada dalam UU Desa jelas menyebutkan bahwa ujung tombak pembangunan Indonesia saat ini terletak di desa.
Beranjak ke permasalahan berikutnya, solusi yang bisa kita tarik adalah adanya seorang fasilitator di setiap desa. Fasilitator ini fungsinya sebagai akselarator lembaga-lembaga yang ada di desa maupun proses-proses yang ada di dalamnya. Inisiator UU Desa sudah sering memberikan pernyataannya bahwa kedepan memang akan ada fasilitator di tiap desa dan ini rencananya akan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah. Namun dalam pernyataannya, tidak dijelaskan secara rinci bagaimana proses rekrutmen fasilitator ini, apakah mereka ini adalah staff kementerian dari pusat atau fasilitator independen yang selama ini ada di program PNPM. Saya melihat apabila fasilitator ini berasal dari pusat, maka tentu akan ada banyak uang yang dikeluarkan. Jalan keluar alternatif yang bisa dipakai adalah memanfaatkan mahasiswa-mahasiswa yang ada di daerah melalui program KKN. Tentu akan ada banyak polemik jika benar fasilitator adalah mahasiswa. Tapi tidak ada salahnya pemerintah memberikan kesempatan bagi calon-calon intelektual muda ini mengaplikasikan ilmunya langsung di masyarakat.
Yang terakhir adalah bagaimana pemerintah dan masyarakat mencari solusi untuk menekan adanya biaya politik yang tinggi dari proses demokrasi di tingkat desa guna menghindari bancakan dana perimbangan. Ini sebenarnya juga masih menjadi perdebatan di kalangan legislatif daerah maupun pusat. Bagi saya, anggaran dari pemerintah mutlak diperlukan.
Semua hal yang saya paparkan diatas, tidak mutlak terjadi di setiap desa yang ada di Indonesia. Bahkan mungkin apa yang saya tulis diatas hanya sebuah kasuistik di daerah saya. Namun, tentu apa yang terjadi ini bukan kemudian kita akan tutup mata. Semangat pembangunan yang ada dalam UU Desa serta bagaimana euphorianya tentu tidak akan terlaksana apabila pemerintah sendiri tidak mau melaksanakan UU Desa ini. Jangan sampai UU Desa ini hanya menjadi naskah pelengkap kerja DPR semata. Sebagai masyarakat, tentu kita memiliki kewajiban untuk senantiasa berkontribusi bagi pembangunan yang memang sedang digalakkan, salah satunya melalui UU Desa ini. Kita jangan psimis dengan ikhtiar yang sudah dilakukan oleh pemerintah maupun DPR. Walaupun nantinya akan banyak kendala yang dihadapi di lapangan, tidak lantas membuat kita berhenti untuk terus mewujudkan masyarakat yang adil-makmur serta berkemajuan. Setiap hambatan tentu memiliki pemecahan masalahnya, pertanyaannya kemudian adalah apakah kita mau berkontribusi untuk mencari solusi itu. Silahkan kita bertanya kepada diri kita masing-masing.  
Wallahu’alam bishowab.